Jumat, 07 Maret 2008

SYUKUR DAN HUSNUDZAN KEPADA ALLAH


. . . .

anugerah-Mu tak terhingga, sehingga kelu lidahku menyebutkannya

karunia-Mu tak terbilang, sehingga lumpuh akalku memahaminya

apatah lagi menentukan luasnya

bagaimana mungkin aku berhasil mensyukuri-Mu

karena rasa syukurku pada-Mu memerlukan syukur lagi

setiap kali aku dapat mengucapkan:‘Bagi-Mu pujian’

saat itu juga aku terdorong mengucapkan: ‘Bagi-Mu pujian’

. . . .

Ali Zainal Abidin


Potongan bait di atas adalah munajat yang sering dilantunkan dalam doa seorang ulama yang terkenal sangat mulia akhlaknya, cucu buyut Rasulullah Saw, Ali Zainal Abidin ra. Sebuah ungkapan syukur dari seorang hamba yang merasa bahwa nikmat dan karunia Allah yang diberikan kepadanya sangat melimpah, padahal dalam sejarah hidupnya, dia mengalami musibah menyaksikan pembantaian ayahnya Al-Husein bin Ali, kakak dan keluarganya di padang Karbala. Ungkapan tersebut juga menggambarkan kesadaran dirinya yang tak mampu -- dan tidak akan pernah mampu -- mensyukuri nikmat-nikmat dari Allah SWT.

Rasa syukur, nampaknya menjadi suatu hal yang terasa sulit bagi kebanyakan kita yang hidup di era global sekarang ini. Apalagi di saat musibah krisis moneter melanda, gaya hidup yang konsumeristis dan iming-iming promosi berbagai barang kepada kita membuat kebutuhan kita terhadap barang sangat besar, sementara kesulitan memperoleh uang senantiasa menghantui perasaan kita. Sehingga akibatnya, perasaan kecewa dan frustasi lebih mudah menjadi kawan kita dari pada syukur. Namun, apakah kita akan tercampak terus tanpa berusaha bangkit?

Tulisan sederhana ini penulis maksudkan untuk menjadi bahan renungan kita semua agar berintrospeksi dan mawas diri, sembari mempersiapkan hati dan jiwa menyongsong datangnya hari kefitrian kita, Hari Raya ‘Idul Fitri 1 Syawal 1418 H yang penuh berkah. Allah berfirman, “ ..(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-ornag yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah 2:155-157)

Definisi dan Unsur Bersyukur

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menyebutkan bahwa bersyukur adalah menggunakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala untuk menaati-Nya serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat tersebut untuk berbuat maksiat kepada-Nya (Ihya Ulumuddin, 4:72). Beliau menyebutkan bahwa syukur mengandung tiga unsur, yaitu ilmu, hal, dan ‘amal.

Ilmu, menunjukkan kesadaran seorang hamba akan nikmat-nikmat Allah yang dianugerahkan kepadanya. Seseorang yang menyadari bahwa musibah adalah kejadian yang diberikan Allah kepadanya untuk mawas diri terhadap kelalaiannya atas karunia dan nikmat Allah, merupakan salah satu contoh ilmu yang dipakai bersyukur.

Hal, menggambarkan sikap hati seorang hamba terhadap nikmat Allah. Sikap seseorang yang merasa bahagia dan berterima-kasih karena masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk menikmati barakah beramal di bulan suci Ramadhan adalah salah satu gambaran hal seseorang dalam bersyukur. Rasulullah bersabda, “Hendaklah kamu (berbahagia bila mempunyai hati yang bersyukur, lidah yang berdzikir dan isteri/suami yang mukmin(at) yang membantunya dalam urusan akhirat.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Amal dalam bersyukur diwujudkan oleh seluruh anggota badan. Hati yang berniat, tutur lisan pun berterima kasih, serta diiringi kaki, tangan dan seluruh anggota badan digunakan untuk menaati Allah serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat karunia-Nya untuk berbuat maksiat.


Siapapun Berhak Bersyukur

Timbulnya rasa dan keinginan bersyukur bukan hanya monopoli suatu kelompok tertentu. Setiap orang -- tidak pandang usia, status ekonomi dan sosial -- bisa menerima karunia itu dalam hati sanubarinya. Tidak benarlah pernyataan yang menyebutkan bahwa bersyukur hanya mungkin dirasakan oleh orang yang kaya material saja. Atau hanya oleh orang-orang yang telah matang usianya.

Kekayaan materi seseorang tidak menjamin bahwa yang bersangkutan bersyukur atas nikmat karunia-Nya. Betapa banyak dalam masyarakat kita saat ini orang-orang kaya yang merasa seolah-olah hartanya akan habis ketika krisis moneter melanda negara kita -- dengan tanpa mengurangi penghormatan kepada sebagian kecil dari mereka yang senantiasa bersyukur --, sehingga rasa syukur belum bersedia bernaung di hatinya.

Sebaliknya, ada sebagian orang yang miskin materi -- namun kaya secara ruhaniah -- senantiasa bersyukur atas rizki karunia Allah yang diterimanya, serta tabah dan berprasangka baik (husnudzan) kepada Allah SWT.

Begitu pula, banyak di antara kaum berusia setengah baya ke atas yang masih kesulitan untuk bersyukur kepada-Nya, sementara beberapa anak-anak muda merasakan betapa melimpah hikmah dan nikmat karunia Allah yang telah diterimanya di saat krisis sekarang ini, sehingga membuat mereka senantiasa bersyukur kepada-Nya.

Husnudzan Kepada Allah

Sesungguhnya respon sikap dan perbuatan seseorang terhadap sesuatu hal sangat dipengaruhi oleh pemaknaan yang diberikan oleh pikirannya terhadap peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Suatu peristiwa yang dialami oleh seseorang dapat diamaknai sebagai sesuatu yang harus disyukuri atau sebuah kekecewaan.

Membiasakan pikiran kita untuk senantiasa berbaik sangka (husnudzan) kepada Allah atas setiap peristiwa atau hal yang kita alami adalah salah satu kiat agar rasa syukur mau singgah di hati nurani kita. Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman, “Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, jika ia bersangka baik, maka ia mendapat balasannya (yang baik), demikian pula bila ia bersangka jahat, ia pun akan mendapat balasannya.” (HR. Ahmad, Muslim, At-Thabarani, dan Ibnu An-Najjar).

Misalnya, maraknya kasus PHK tenaga-tenaga kerja saat ini dapat kita persepsi dengan dua arah pandangan yang berbeda. Bila seseorang yang terkena musibah tersebut memberi makna sebagai sesuatu yang mengecewakan dan menganggap sebagai unsur kesengajaan Allah kepadanya, maka sulit baginya untuk bersyukur karena-Nya.

Sebaliknya, peristiwa tersebut dapat pula diamaknai sebagai suatu peringatan Allah -- karena Kasih-Nya -- agar di masa mendatang dia lebih meningkatkan kualitas kerjanya, serta sebagai latihan sementara untuk hidup prihatin. Pada pilihan sikap yang kedua peluang tumbuhnya rasa syukur di hati seorang hamba lebih besar dari pada sikap yang pertama. Sikap syukur yang muncul ini akan menjadi bekal baginya untuk memperbaiki kehidupannya di masa mendatang.

Dalam hadits Qudsi yang lain, ketika menggambarkan sikap-Nya terhadap perlakuan seorang hamba yang bersabar atas musibah, Allah berfirman,”Jika Aku menimpakan musibah kepada seorang hamba-Ku pada badan, harta atau anak-anaknya, lalu ia sambut dengan penuh kesabaran, Aku malu untuk menegakkan neraca timbangan atau memeriksa catatan amalnya di hari kiamat.” (HR. Al-Qadha, Ad-Dailamy, dan Tirmidzi)


Rasa Syukur Kita Pun Perlu Disyukuri

Menurut para ahli tauhid dan sufi, semua ikhtiar amal baik seorang hamba hanyalah semacam ‘ketukan pintu’ pada kamar Kemutlakan Kesempurnaan Sifat Allah SWT. Kemampuan seseorang untuk melakukan suatu amal baik tertentu bukanlah ‘murni’ atas kemampuannya sendiri, melainkan adalah atas izin dan karunia-Nya, yang oleh karenanya perlu dia syukuri.

Ketika Ali Zainal Abidin ra. bermunajat ,” ... bagaimana mungkin aku berhasil mensyukuri-Mu/ karena rasa syukurku pada-Mu memerlukan syukur lagi/ setiap kali aku dapat mengucapkan:‘Bagi-Mu pujian’/ saat itu juga aku terdorong mengucapkan: ‘Bagi-Mu pujian’/. . . ., beliau sadar betul bahwa niat dan ungkapan syukurnya di awal adalah karunia yang harus disyukuri. Belum mampu beliau mensyukuri yang pertama, karunia bersyukur berikutnya pun dilimpahkan Allah kepada beliau, demikian seterusnya tanpa pernah putus. Subhanallah!.

Penutup

Mengingat rentang kualitas syukur adalah sangat luas, penulis yang masih memiliki kekotoran hati ini sungguh menyadari bahwa sangatlah sulit baginya untuk memperoleh karunia seperti Ali Zainal Abidin ra. di atas. Untuk memperoleh ‘sebuah’ rasa syukur saja di zaman sekarang ini bukanlah suatu hal yang mudah. Tantangan era globalisasi serta krisis moneter dapat mengelabui jiwa kita. Namun, tiada salahnya bila kita senantiasa berharap kepada Ke-Maha Pengasihan Allah dengan belajar berbaik sangka (husnudzan) kepada-Nya. Semoga dengan hal itu pintu syukur-Nya dibukakan bagi kita. Wallahu ‘alam bi shawwab.


Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang yang senantiasa merindukan persahabatan dalam pencarian Al-Haq