Jumat, 07 Maret 2008

MEMAGARI SULUK DENGAN SYARIAT


Pendahuluan

Suluk bila diibaratkan sebagai sebuah perjalanan, merupakan perjalanan yang tidak mudah. Imam Al-Ghazali mengibaratkan sebagai jalan licin yang terjal mendaki dan penuh jebakan serta rintangan. Bila berhasil maka akan memperoleh suatu kedudukan seorang hamba yang mulia di sisi Sang Khalik. Namun, bila kurang berhati-hati dalam suluknya, maka peluang celaka dan binasa bagi salik (pejalan spiritual) sungguh besar.

Di antara bekal yang hendaknya kita bawa dalam bersuluk adalah syariat. Syariat dalam hal ini adalah pengetahuan jasadiah tentang Ad-Din yang diamalkan secara lahiriah.

MENERAWANG PASCA KEMATIAN, BERANIKAH?



Di saat kondisi masyarakat hampir kehilangan kendali norma-norma etika saat ini, upaya-upaya yang dapat meredam dan meningkatkan harkat perilaku kemanusiaannya sangat diperlukan. Di antaranya kita dapat merenungkan keterbatasan usia kehidupan di dunia ini, serta senantiasa menanamkan dalam hati kita bahwa belum tentu kita berada pada kategori golongan kanan -- yang selamat dari siksa Hari Akhir --, sehingga kekhawatiran dan kehati-hatian akan senantiasa mengiringi langkah kita dalam kehidupan di dunia.

Kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Suatu saat, ketika ajal menjemput kita, maka terjadilah perpindahan alam itu, suka atau tidak, kita pasti akan memasuki alam kubur (barzakh), dan kemudian alam akhirat.

Rasulullah Saw., sebagaimana dikutip oleh Ibnu ‘Arabi dalam kitab Wasiat-wasiat Ibnu ‘Arabi bersabda : “Sesungguhnya dunia pergi dengan cepat, dan akhirat segera datang dengan menghiasi dirinya. Ketahuilah bahwa di dunia inilah saatnya engkau beramal dan bukan saatnya dihisab. Sebentar lagi, engkau akan berada pada Hari Perhitungan dan bukan saatnya beramal. Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang dicintai dan juga yang dibenci-Nya, dan memberikan akhirat hanya kepada orang-orang yang dicintai-Nya.

S Y U H A D A


Adakah orang mukmin yang tidak mau menjadi syuhada? Mungkin saja ada, di antaranya mereka yang tidak tahu makna syuhada, atau mereka yang belum punya keberanian untuk menempuh rintangan dan tantangannya.

Meskipun mungkin ada yang tidak mau menjadi syuhada, namun nampaknya yang mau bertekad secara sungguh-sungguh pun sangat sedikit. Kebanyakan dari kita lebih merasa aman untuk memilih kurang peduli terhadap persoalan tersebut. Hal itu menyebabkan menjadi penting bagi kita untuk berani menjawab secara jujur pertanyaan di atas.

Selain pertanyaan di atas pertanyaan-pertanyaan berikut juga perlu kita renungkan: Apakah hakikat syuhada? Apakah syuhada hanya dapat ditempuh dengan kematian? Adakah predikat syuhada bagi seorang mukmin yang masih hidup di dunia ini? Maukah kita menjadi syuhada? Strategi apa yang harus kita laksanakan untuk menjadi syuhada?

FAQIR DAN GHANIY

Suatu Renungan tentang Hakikat Kaya dan Faqir


. . . .

Ilahi

kefakiranku tak kan terkayakan kecuali dengan cinta dan kebaikan-Mu

ketakutanku tak kan tertenangkan kecuali dengan kepercayan-Mu

keinginanku tak kan terpenuhi kecuali dengan anugerah-Mu

keperluanku tak kan tertutupi kecuali dengan karunia-Mu

kebutuhanku tak kan tercapai oleh selain-Mu

. . . .


Zainal Abidin


Di saat krisis semacam ini masih bisakah kita melantunkan doa seperti kutipan bait di atas?

Membicarakan kekayaan atau sesuatu yang mengenainya di saat krisis ekonomi mungkin mengundang pertanyaan di benak kita, masih adakah orang yang merasa kaya saat ini?

Pengertian orang kaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1) orang yang mempunyai banyak harta; 2) berkuasa; 3) mengandung banyak sesuatu/harta. Bila kita gunakan definisi tersebut, nampaknya kita masih akan melihat orang-orang kaya tersebut. Namun bila kita tanyai mereka satu-per satu belum tentu yang bersangkutan ‘merasa kaya’!.

Perasaan kaya, merasa cukup atas yang dimiliki adalah suatu sifat mulia. Seseorang yang merasa cukup atas apa yang telah diterimanya dari Allah SWT pada umumnya akan terhindar dari keserakahan, ketamakan, rasa iri terhadap kesenangan orang lain.


SYUKUR DAN HUSNUDZAN KEPADA ALLAH


. . . .

anugerah-Mu tak terhingga, sehingga kelu lidahku menyebutkannya

karunia-Mu tak terbilang, sehingga lumpuh akalku memahaminya

apatah lagi menentukan luasnya

bagaimana mungkin aku berhasil mensyukuri-Mu

karena rasa syukurku pada-Mu memerlukan syukur lagi

setiap kali aku dapat mengucapkan:‘Bagi-Mu pujian’

saat itu juga aku terdorong mengucapkan: ‘Bagi-Mu pujian’

. . . .

Ali Zainal Abidin


Potongan bait di atas adalah munajat yang sering dilantunkan dalam doa seorang ulama yang terkenal sangat mulia akhlaknya, cucu buyut Rasulullah Saw, Ali Zainal Abidin ra. Sebuah ungkapan syukur dari seorang hamba yang merasa bahwa nikmat dan karunia Allah yang diberikan kepadanya sangat melimpah, padahal dalam sejarah hidupnya, dia mengalami musibah menyaksikan pembantaian ayahnya Al-Husein bin Ali, kakak dan keluarganya di padang Karbala. Ungkapan tersebut juga menggambarkan kesadaran dirinya yang tak mampu -- dan tidak akan pernah mampu -- mensyukuri nikmat-nikmat dari Allah SWT.

Kamis, 06 Maret 2008

Tashawwuf dalam Kehidupan Sehari-hari


..bla..bla..bla..

Buku-buku untuk Mengenal Dunia Tashawwuf

Ihya Ulumuddin karya Muhammad Al Ghazali
Al Hikam karya Ibn 'Athaillah
GURU SEJATI DAN MURIDNYA karya Bawa Muhaiyyaddeen
Tasawuf Mendamaikan Dunia karya Bawa Muhaiyyaddeen

Akhlak dalam Ayat Al Quran

Sabar
Tawakkal
Syukur
Ikhlas
Ridho

Nasihat-nasihat Para Sufi

Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani

Maulana Jalaluddin Rumi

Syaikh Ibnu 'Athaillah

Muhammad Al-Ghazali

Sayyidina Ali bin Abu Thalib

Imam Khomeini

Imam Ja'far Ash-Shadiq

Sayyid Abdullah Al-Haddad

Hakim At-Tirmidzi

Imam Ali bin Abu Thalib

Imam Ali Zainal 'Abidin

Muhyiddin Ibnu 'Araby

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang yang senantiasa merindukan persahabatan dalam pencarian Al-Haq