Jumat, 07 Maret 2008

S Y U H A D A


Adakah orang mukmin yang tidak mau menjadi syuhada? Mungkin saja ada, di antaranya mereka yang tidak tahu makna syuhada, atau mereka yang belum punya keberanian untuk menempuh rintangan dan tantangannya.

Meskipun mungkin ada yang tidak mau menjadi syuhada, namun nampaknya yang mau bertekad secara sungguh-sungguh pun sangat sedikit. Kebanyakan dari kita lebih merasa aman untuk memilih kurang peduli terhadap persoalan tersebut. Hal itu menyebabkan menjadi penting bagi kita untuk berani menjawab secara jujur pertanyaan di atas.

Selain pertanyaan di atas pertanyaan-pertanyaan berikut juga perlu kita renungkan: Apakah hakikat syuhada? Apakah syuhada hanya dapat ditempuh dengan kematian? Adakah predikat syuhada bagi seorang mukmin yang masih hidup di dunia ini? Maukah kita menjadi syuhada? Strategi apa yang harus kita laksanakan untuk menjadi syuhada?

Secara bahasa, syuhada --bentuk jamak dari syahid-- dapat diartikan sebagai orang-orang yang bersaksi atau menyaksikan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat beberapa maknanya, pertama, adalah orang yang meninggal dalam kondisi memperjuangkan ad-diin (ajaran Allah tentang kebenaran secara totalitas).

Kedua, adalah orang-orang yang mampu menceritakan kembali ‘persaksian’ aspek batin dirinya dengan Allah SWT. di alam alastu (lihat QS. 7 : 172). Kemampuan memahami dan menceritakan kembali ini dilakukan oleh aspek-aspek batiniah dirinya.

Aspek batiniah diri manusia adalah pelengkap aspek lahiriah diri yang berwujud jasad dan berasal dari dunia lahiriah (alam mulkiyyah). Secara hakiki, wujud-wujud batiniah tersebut berupa An-Nafs (jiwa) beserta seluruh hawa-nafsunya sebagai tentara yang harus dikendalikan oleh cahaya ilahiah, Ar-Ruh dari ‘amr Tuhan, qalbu, lubb (akal-jiwa).

An-Nafs yang berasal dari cahaya Ilahi, pada dasarnya senantiasa rindu untuk mengabdi kepada Allah. Bagian dari an-nafs yang sangat menentukan adalah qalbu yang merupakan elemen yang menjadi ‘jembatan’ perantara aspek batin dan lahir diri manusia. Qalbu jualah yang menjadi sarana an-nafs untuk menyerap ‘energi’ Allah SWT. Qalbu dapat dikendalikan oleh hawa nafsu yang cenderung mengingkari pengabdian kepada Allah, namun dia juga dikuasai oleh lubb beserta seluruh kekuatan diri yang menghadap (tawajjuh) sepenuhnya kepada Allah SWT.

Kemampuan totalitas diri seseorang --yang atas Rahmat Allah-- untuk sepenuhnya menghadapkan dan menjadikan qalbunya semata-mata hanya untuk menangkap cahaya ilahiah yang menentukan aspek batin manusia mampu memahami serta menceritakan kembali ‘persaksian di alam alastu’ seseorang. Keadaan itu dapat diperoleh seseorang meskipun ajal belum menjemputnya.

Istilah yang lain untuk kondisi seseorang yang demikian adalah Seorang yang telah Mengenal dirinya (arafa nafsahu). Juga dikenal sebagai Orang yang telah Bertemu Diri, maksudnya seorang yang aspek raganya telah menyaksikan serta bertemu dengan aspek batinnya yang menceritakan kembali ‘dialog’ dengan Allah sebagai Rabb-nya.

Kondisi inilah yang diidentifikasi oleh Al-Qur’an sebagai berikut : “Dan an-nafs (jiwa) serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepadanya fujuroha dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya.” QS. 91:7-9). Keberuntungan inilah yang menjadi faktor utama kebahagiaan hakiki manusia sebagai suatu ciptaan. Sehingga sangat wajarlah jika perjuangan untuk menempuhnya oleh Rasulullah saw. dikategorikan sebagai perjuangan yang paling besar (jihad al-akbar)

Nah, Sahabat-sahabat yang mengharapkan Rahmat dan Ridla Allah, beranikah anda menempuhnya??


Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang yang senantiasa merindukan persahabatan dalam pencarian Al-Haq