Jumat, 07 Maret 2008

FAQIR DAN GHANIY

Suatu Renungan tentang Hakikat Kaya dan Faqir


. . . .

Ilahi

kefakiranku tak kan terkayakan kecuali dengan cinta dan kebaikan-Mu

ketakutanku tak kan tertenangkan kecuali dengan kepercayan-Mu

keinginanku tak kan terpenuhi kecuali dengan anugerah-Mu

keperluanku tak kan tertutupi kecuali dengan karunia-Mu

kebutuhanku tak kan tercapai oleh selain-Mu

. . . .


Zainal Abidin


Di saat krisis semacam ini masih bisakah kita melantunkan doa seperti kutipan bait di atas?

Membicarakan kekayaan atau sesuatu yang mengenainya di saat krisis ekonomi mungkin mengundang pertanyaan di benak kita, masih adakah orang yang merasa kaya saat ini?

Pengertian orang kaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1) orang yang mempunyai banyak harta; 2) berkuasa; 3) mengandung banyak sesuatu/harta. Bila kita gunakan definisi tersebut, nampaknya kita masih akan melihat orang-orang kaya tersebut. Namun bila kita tanyai mereka satu-per satu belum tentu yang bersangkutan ‘merasa kaya’!.

Perasaan kaya, merasa cukup atas yang dimiliki adalah suatu sifat mulia. Seseorang yang merasa cukup atas apa yang telah diterimanya dari Allah SWT pada umumnya akan terhindar dari keserakahan, ketamakan, rasa iri terhadap kesenangan orang lain.



Sebaliknya bila seseorang belum merasa cukup atas apa-apa yang telah dimilikinya -- meskipun berupa timbunan emas, permata, dan milyaran dolar uang --, potensi keserakahan akan mudah tumbuh subur dalam jiwanya. Keserakahanlah yang menyebabkan seseorang di saat krisis seperti ini melakukan penimbunan barang-barang yang sangat dibutuhkan masyarakat, dengan maksud memperoleh keuntungan pribadi yang berlimpah.

Berita-berita di media massa yang kita dengar menunjukkan kepada kita bahwa keserakahan itu masih terdapat di sekitar kita. Beruntunglah kita bahwa berita tersebut juga diiringi dengan makin maraknya kegiatan-kegiatan kepedulian kepada kaum dhu’afa, dengan aksi-aksi pembagian atau bursa murah kebutuhan-kebutuhan pokok.





Hakikat Kaya

Orang-orang suci di kalangan penempuh jalan tasawuf berpendapat bahwa kekayaan yang sebenarnya (ghina) hanyalah milik Allah SWT. -- yang sempurna dalam segala sifatnya. Menurut Al Hujwiri, dalam kitabnya Kasyful Mahjub, kekayaan Allah -- yang Diri-Nya adalah Pembuat segala sebab -- terletak pada Kebebasan-Nya dari segala sesuatu apa pun dan Kekuasaan-Nya untuk berbuat apa saja yang Dia kehendaki. Kekayaan tersebut bersifat kekal selamanya.

Sedangkan kekayaan manusia bersifat pasif, hanyalah suatu titipan dari Yang Maha Kaya tersebut. Orang kaya adalah dia yang diperkaya oleh Allah (al-ghina man aghnahullah) sebab istilah “kaya dalam Allah” menunjuk kepada pelaku (fa’il), sedangkan istilah “diperkaya oleh Allah” berarti orang yang dikenai tindakan (maf’ul). Yang pertama adalah mandiri, sedangkan yang kedua keberadaannya bergantung kepada Sang Pemberi.

Ketergantungan seseorang pada sesuatu berawal dari kebutuhannya terhadap sesuatu. Kebutuhan tersebut berawal dari timbulnya keinginan-keinginannya terhadap sesuatu, baik bersifat material maupun spiritual.

Ali bin Abu Thalib kw. dalam Nahjul Balaghah berkata,”Semulia-mulia kekayaan milik pribadi adalah meninggalkan banyak keinginan.” Keinginan yang beraneka-macamlah yang menyebabkan kita kesulitan merasa cukup atas apa yang telah ada pada diri kita. Mengurangi keinginan juga berarti berkurangnya kebutuhan kita pada hal-hal yang berlebihan dalam kehidupan.

Dalam bagian lainnya beliau katakan,”Berbahagialah siapa yang selalu ingat akan Hari Akhir, beramal untuk menghadapi Hari Perhitungan (Yaum Al-Hisab) dan merasa puas dengan ala kadarnya, sementara ia ridha sepenuhnya dengan pemberian Allah.”

Pengikatan pikiran kita terhadap Allah, Hari Akhir akan menyebabkan kerangka berpikir kita dalam menyelesaikan problematika kehidupan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian. Hikmah lainnya adalah berkurangnya ketergantungan kita kepada selain-Nya.

Ketidak-tergantungan kepada sesuatu selain Allah, menurut para penempuh jalan kesucian merupakan sarana yang paling utama agar seseorang ‘diperkaya’ oleh Allah SWT. Sehingga bukan banyak sedikitnya harta benda yang ada pada tangan kita yang menjadi ukuran kekayaan. Namun, kadar ketergantungan kita kepada Allah, dan keterlepasan kita pada ketergantungan kepada selain-Nya yang menentukan seseorang ‘kaya’ atau fakir.


Puas Atas Pemberian Allah

Abu Abdullah Ash-Shadiq r.a. -- seorang alim ulama yang saleh --, dalam kitab Lentera Ilahi-nya mengatakan bahwa jika orang yang puas hatinya terhadap karunia Allah bersumpah bahwa pada akhirnya, ia akan menguasai kedua dunianya (sekarang dan akhirat), Allah akan membenarkannya dalam hal itu dengan mewujudkan harapannya melalui kebesaran rasa kepuasannya.

Bagaimana dapat seorang hamba Allah tidak merasa puas dengan apa yang telah diberikan Allah kepadanya, sedang Dia telah berfirman, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az Zukhruf 43: 32).

Barangsiapa menyerahkan segala urusannya kepada Allah, dan tidak bersikap sembrono dalam mematuhi segala hal yang dikehendaki-Nya setiap saat, serta mempunyai keyakinan terhadap Tuhannya, ia tentu menganggap bahwa segala sesuatu yang diterima oleh setiap manusia berasal dari Allah SWT, dan tidak mengakui realitas sebab-sebab selain-Nya.

Bila seseorang telah mencapai derajat merasa puas dengan apa yang telah diberikan Allah kepadanya, maka ia akan dibebaskan Allah dari kesusahan, kesedihan dan keletihan dalam kehidupannya.

Setiap kali kepuasannya menurun, nafsunya meningkat. Keserakahan akan dunia ini merupakan akar setiap kejahatan. Orang yang serakah tidak akan diselamatkan dari api Neraka, kecuali jika ia bertobat dengan penuh kesungguhan (taubat an-nashuha).

Itulah sebabnya, Nabi saw. bersabda,”Kepuasan adalah suatu kerajaan yang tidak akan punah.” Kepuasan merupakan kapal ridha Allah, mengangkut siapa pun yang menumpang di atasnya menuju Rumah Allah. Sehingga kita senantiasa dianjurkan untuk memiliki keyakinan pada apa yang belum diberikan kepada kita, dan rasa puas pada apa yang telah diberikan.


Kefakiran Hakiki

Pembahasan tentang kekayaan pada umumnya tidak dapat terlepas dari lawannya, yaitu kefakiran. Kefakiran mempunyai bentuk (rasm) dan hakikat. Bentuknya adalah kemiskinan, sedangkan hakikatnya adalah keberuntungan dan pilihan bebas. Dia yang memandang bentuk, bertumpu pada bentuk, dan karena gagal mencapai sasarannya, lari dari hakikat. Namun, dia yang menemukan hakikat, mencegah pandangannya dari semua ciptaan, dan dalam peniadaan segala selain-Nya dengan sempurna. Karena hanya dengan memandang kepada Yang Maha Esa, maka dia menuju hidup yang kekal.

Nabi saw. dalam salah satu riwayat bersabda, “Pada Hari Kebangkitan, Allah akan berkata, ‘Bawalah olehmu orang-orang yang Kucintai mendekat kepada-Ku’; kemudian malaikat-malaikat akan berkata,’Siapakah orang-orang yang Kau cintai?’ Allah pun menjawab,’Orang-orang fakir dan yang tak punya’.”

Dalam pandangan Farid Al-Din ‘Aththar, kefakiran merupakan rangkaian tahapan dari perjalanan spiritual seorang mu’min. Tahapan tersebut adalah thalab (pencarian), ‘isyq (cinta), ma’rifah (pengenalan), istighna’ (merasa puas), faqr (kefakiran) dan fana’ (lebur). Pembahasan tentang selain kefakiran dan merasa puas bukanlah tujuan dari tulisan ini, sehingga tidak akan kita perpanjang di sini.

Al Quran menggambarkan sifat orang fakir ini sebagai berikut, “... orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak... ” (QS. Al Baqarah 2: 273)

Abul Al Hasan Nuri, sebagaimana dikutip oleh Al Hujwiri dalam Kasyful Mahjub menggambarkan ciri seorang yang fakir adalah bilamana dia tidak memperoleh apa pun, dia diam; dan bilamana dia memperolah sesuatu, dia memandang orang lain lebih berhak memperolehnya dari pada dirinya, sehingga karenanya dia mudah memberikannya.

Pada prakteknya hal ini mengandung makna yang penting, yaitu pertama, ketawakalannya bila tidak memperoleh sesuatu dia ridha, dan bila memperoleh sesuatu adalah cinta, karena “ridha” berarti “menerima jubah kehormatan”. Jubah kehormatan adalah tanda kedekatan, sedangkan pencinta menolak jubah kehormatan karena hal itu merupakan tanda pemisahan.

Kedua, ketawakalannya, bila tidak memperoleh sesuatu, adalah berharap; dan bila memperoleh sesuatu adalah menolaknya. Bila sesuatu yang diharapkan tersebut adalah “selain Allah” maka ditolaknya, juga bila sesuatu yang diperolehnya adalah “selain Allah” maka diapun menolaknya.

Syibli berkata, “Kefakiran adalah lautan kesulitan, dan semua kesulitan demi Dia adalah kemuliaan. Kemuliaan adalah bagian dari “yang lain”. Yang berduka cita tenggelam dalam kesulitan dan tak mengetahui apa-apa tentang kemuliaan, sampai mereka melupakan kesulitannya dan hanya memandang Sang Pencipta.

Kemudian kesulitan mereka berubah menjadi kemuliaan, dan kemuliaan mereka berada dalam keadaan ruhani (waqt). Keadaan ruhani mereka menjadi cinta, dan cinta mereka menjadi tafakur. Hingga akhirnya akal orang yang bercita-cita sepenuhnya menjadi pusat dari penglihatan melalui kuasa imajinasinya. Dia melihat tanpa mata (zahir), dan mendengar tanpa telinga (zahir).

Kemuliaan adalah yang menyebabkan hadirnya seseorang bersama Allah, dan kehinaan adalah yang menyebabkan seseorang jauh dari Allah. Duka cita kefakiran adalah tanda “kehadiran”, sementara nikmat kekayaan adalah tanda “ketidak-hadiran”. Karena itu menurut para penempuh jalan kesucian seseorang hendaknya melibatkan diri dalam tafakur dan pendekatan diri kepada Allah dalam menanggung kesulitan.

Junaid Al Baghdadi mengatakan, “Wahai kaum fakir, kau dikenal melalui Allah dan dihormati demi Allah. Jagalah perilakumu bilamana kau sendirian dengan-Nya. Serendah-rendah manusia adalah dia yang dianggap taat kepada Allah, namun sebenarnya tidak. Sedangkan manusia yang paling mulia adalah dia yang tidak dianggap taat kepada Allah, namun sesungguhnya dia taat.

Dengan makna hakiki kefakiran di ataslah dapat kita renungkan hadits Nabi saw. berikut,”Ya Tuhanku, hidupkanlah aku dalam kefakiran, dan matikanlah aku dalam kefakiran, dan bangkit dari kematian di antara kaum fakir.”


Merasa Puas dan Etos Kerja

Benarkah merasa puas atas karunia Allah akan menyebabkan seorang mu’min rendah etos kerjanya?

Bagi kaum mu’minin, rasa puas akan karunia Allah senantiasa erat kaitannya dengan bersyukur kepada-Nya. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menyebutkan bahwa bersyukur adalah menggunakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala untuk menaati-Nya serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat tersebut untuk berbuat maksiat kepada-Nya (Ihya Ulumuddin, 4:72).

Ketaatan kepada Allah SWT dalam pandangan seorang mu’min termasuk untuk menjaga dan memelihara alam semesta beserta tatanan masyarakat manusia. Kesemua kegiatan tadi dilaksanakan dengan tujuan mengabdi dan memuliakan-Nya semata. Keharmonisan alam dan masyarakat menjadi salah satu sasaran perantara yang hendak diwujudkannya dalam kehidupan di dunia.

Perbedaan yang sangat mendasar antara etos kerja seorang mu’min dan non mu’min adalah pada kerangka dasar tujuan pengabdian dan pemuliaannya. Seorang non mu’min (yang tidak beriman kepada Allah) mengabdi pada nafsunya dan melakukan segala kegiatannya dengan tujuan memuliakan dirinya.

Sedangkan seorang mu’min berkegiatan untuk sebuah pengabdian kepada Sang Pencipta dan bertujuan memuliakan Sang Maha Mulia, Allah SWT. Semuanya dilakukannya dengan suatu keyakinan bahwa dengan ke-Rahman-an (Maha Penyayang) dan ke-Rahiman-Nya (Maha Pengasih-Nya), Allah pasti akan menebarkan sedikit percikan Kemuliaan-Nya kepada hambanya yang layak menerimanya.

Semakin puas dan ridha dia atas karunia Allah, maka ketaatan kepada-Nya pun semakin dia tingkatkan. Dan semakin taat dia maka etos kerjanya untuk mengagungkan dan memuliakan Sang Pencipta dengan menebarkan rahmat kepada alam beserta isinya semakin meningkat.




Penutup

Dari pembahasan di atas kita ketahui bahwa kekayaan dalam pandangan hamba yang mu’min bukanlah terletak pada banyak sedikitnya harta yang ‘dimiliki’ oleh seseorang. Kekayaan yang diharapkan oleh seorang mu’min adalah meresapnya rasa cukup atas nikmat karunia Ilahi padanya, ketiadaan ketergantungannya kepada selain Allah, serta Ijin-Nya kepada kita untuk mengerjakan sesuatu yang tidak melanggar Kehendak-Nya.

Sungguh, suatu hal yang sangat tepatlah bila pada saat krisis sekarang ini kita saling menasihati dan mengingatkan satu sama lain untuk menjadikan diri kita ‘orang-orang kaya’ secara hakiki. Karena pada hakikatnya bukanlah materi dan status di hadapan manusia yang menjadi tujuan kita, Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali. (QS. Al Baqarah 2: 156)

Semoga qalbu kita senantiasa diberi pintu kelembutan sehingga masih dapat meresapkan dialog dan munajat kepada Allah SWT sebagaimana kutipan doa Zainal Abidin di awal tulisan ini. Amien.

Wallahu ‘alam bi shawwab.



Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang yang senantiasa merindukan persahabatan dalam pencarian Al-Haq