Jumat, 07 Maret 2008

MEMAGARI SULUK DENGAN SYARIAT


Pendahuluan

Suluk bila diibaratkan sebagai sebuah perjalanan, merupakan perjalanan yang tidak mudah. Imam Al-Ghazali mengibaratkan sebagai jalan licin yang terjal mendaki dan penuh jebakan serta rintangan. Bila berhasil maka akan memperoleh suatu kedudukan seorang hamba yang mulia di sisi Sang Khalik. Namun, bila kurang berhati-hati dalam suluknya, maka peluang celaka dan binasa bagi salik (pejalan spiritual) sungguh besar.

Di antara bekal yang hendaknya kita bawa dalam bersuluk adalah syariat. Syariat dalam hal ini adalah pengetahuan jasadiah tentang Ad-Din yang diamalkan secara lahiriah.

Pengetahuan kita yang benar tentang Al-Islam sebagai suatu keberserah-dirian juga hukum-hukum fiqihnya, disertai pemahaman kita yang benar tentang Al-Iman sebagai suatu cahaya Allah.

Pengamalan kita tentang kedua hal itu hendaknya kita sempurnakan dengan pemahaman Ihsan dalam arti kita beribadah seolah-olah melihat Allah, kalaupun tidak melihatnya namun kita meyakini bahwa Allah melihat kita.

Dalam perpektif Kadisiyyah, kita mengenal nasihat Mursyid yang membedakan syariat lahir dan syariat batin. Syariat lahir adalah pemahaman tentang aqidah (tauhid) dan hukum fiqih Islam, sedangkan syariat batin adalah akhlak yang menyempurnakan pelaksanaan hukum fiqih tersebut, antara lain seperti Sabar, Tawakal, Syukur dan Ikhlas.

Syariat lahir bila kita laksanakan secara sempurna akan menjaga hal-hal jasadiah kita dari jebakan-jebakan dalam suluk. Sedangkan syariat batinlah yang menentukan kesempurnaan pencapaian tujuan kita bersuluk.


Syariat Lahir sebagai Pagar

Kisah Syaikh Abdul Qadir Jailani ra.(radhiallahu ‘anhu – semoga Allah meridhoi beliau) yang terselamatkan dari tipu daya Iblis yang mengaku-aku sebagai Tuhan, terjadi karena beliau memiliki pengetahuan syariat lahir yang kokoh dapat memberikan cermin bagi kita betapa penting syariat lahir sebagai salah satu penyelamat kesulukan.

Sungguh tidaklah dibenarkan kita yang ber suluk hanya dengan mengandalkan isyarat-isyarat ghaib yang kita terima dalam suluk kita, baik itu selalu kita konsultasikan kepada Mursyid atau --apalagi-- yang kita interpretasikan sendiri.

Isyarat ghaib yang asing bagi kita, merupakan informasi yang masih bersifat netral, dapat menyempurnakan suluk maupun dapat menjebak dan menjatuhkan suluk kita. Untuk penataan jasadiah (pikiran, emosi, aturan bermasyarakat, bermuamalah, dsb) kita hendaknya menyempurnakan pelaksanaan syariat lahir Islam. Kemudian hal tersebut kita kombinasikan secara tepat dengan penyempurnaan sabar, tawakal, syukur dan ikhlas, sebagai syariat batinnya.

Perpaduan yang tepat dari pemahaman aqidah, pelaksanaan hukum-hukum fiqih dalam kehidupan kita sehari-hari, Insya Allah akan memberikan keamanan bagi kita dalam bersuluk.

Sebagai contoh dalam kasus shalat kita, secara lahiriah QS. 29:45 menyatakan,”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari kekejian dan kemungkaran. Dan sesungguhnya dzikrullah adalah lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu yang kamu kerjakan. Sedangkan terkait dengan salah satu tujuan shalat, QS. 20:14 Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada tuhan selain-Ku, maka mengabdilah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk dzikir kepada-Ku.”

Secara syariat lahir, pengamalan ayat-ayat tersebut adalah dengan kita melaksanakan dengan penuh ketertiban seluruh rukun shalat yang telah diatur dalam fiqih shalat. Dan hal itu kita lakukan dengan tujuan untuk dzikir kepada Allah serta mencegah diri kita dari kekejian dan kemungkaran.

Akal jasad kita dapat melakukan analisis yang menghasilkan kesimpulan ketika kita shalat tetapi jika pikiran kita kemana-mana, tidak konsentrasi pada dzikir (mengingat) Allah, maka kesempurnaan shalat kita belum tercapai.

Atau seandainya kita shalat, namun kita melakukannya dengan tanpa pengetahuan tentang tatacara, rukun, dan hukum-hukumnya yang benar --dengan kata lain ada kemungkaran dalam pelaksanaannya-- , maka sesungguhnya kita juga belum mengamalkan ayat-ayat di atas.

Bila pengamalan Al-Quran belum sempurna kita amalkan, maka perlindungan suluk kita belumlah sempurna kita lakukan. Hal ini akan memperbesar peluang ketersesatan dalam suluk kita, baik secara tersamar atau pun ketersesatan yang sangat jelas.

Di lain sisi, meskipun kita telah melaksanakan tertib hukum maupun rukun shalat berdasarkan hukum fiqih shalat, sekiranya kita tidak menjaga qalb kita dari hal-hal yang merusak keikhlasan, kesabaran, ketawakalan serta kesyukuran maka pensucian nafs (jiwa) yang menjadi proses utama pencapaian tujuan suluk kita juga tidak akan optimal.


Hanya Syariat Semata Juga Berbahaya

Bisakah hanya dengan syariat lahir kita menyempurnakan pencapaian tujuan suluk kita? Mursyid tercinta menasihatkan bahwa tidaklah mungkin tujuan suluk akan tercapai bila kita hanya mengandalkan semata-mata syariat lahir saja. Syariat yang kita laksanakan hendaknya kita sempurnakan dengan thariqah, haqiqat, dan ma’rifat.

Seandainya kita hanya mengandalkan hukum fiqih (syariat lahir) saja, maka hal itu tidak akan mampu mengasah dan mensucikan nafs (jiwa) kita, tidak akan sempurna upaya penghadapan Qalb kita kepada Allah SWT. Hal itu disebabkan nafs maupun qalb adalah sesuatu yang non jasadiah, jadi untuk menyempurnakan pensuciannya bukan hanya dengan syariat lahir semata, melainkan harus disempurnakan dengan pelaksanaan syariat batin kita yang sempurna.

Ketika hukum fiqih kita pegang dengan kuat tanpa mempertimbangkan syariat batin dan hal-hal yang terkait dengan thariqat, haqiqat, dan ma’rifat, maka kita baru menyentuh aspek kulit saja dari suluk, sehingga inti dari suatu suluk belumlah tersentuh. Sungguh tidak masuk akal bila kita hanya menyentuh kulit ingin meraih dan mencapai tujuan suluk kita. Akhir tujuan suluk kita adalah untuk menjadi hamba yang Diadekatkan (muqarrabun). Hal itu memerlukan pelaksanaan yang sempurna dari syariat, thariqat, hakikat, dan ma’rifat.

Sungguh berbahaya kita menjalani suluk bila kita hanya melakukan salah satu aspeknya saja. Bila standar keberhasilan suluk hanya kita ukur dengan kesempurnaan syariat lahir saja, maka banyak hal tentang khazanah Dia Yang Maha Ghaib akan sulit tersingkap. Alih-alih kita menginginkan mencapai tujuan, kita malah menuju ke arah yang menjauhi tujuan suluk tanpa kita sadari. Na’udzubillahi min dzalik!!


Penutup

Bersuluk memang tidak mudah, hal itu sudah kita sadari resikonya sejak awal. Cenderung memusatkan pada aspek syariat lahir saja kurang tepat, berfokus hanya pada hakikat saja juga tidak akan menyempurnakan suluk kita. Sementara menempatkan kombinasi yang harmonis dan proporsional juga bukan perkara yang gampang.

Hal itu, Insya Allah hanya akan dapat terjadi bila kita bersuluk memperoleh rahmat Allah semata. Pemancing rahmat-Nya tersebut dapat kita upayakan dengan cara tidak meninggalkan syariat, serta berhati-hati dalam bimbingan untuk menapak etika serta sistem thariqat, menyingkap rahasia hakikat dan semoga Dia Berkenan memberi pertolongan bagi kita untuk menggapai ma’rifat.

Melaksanakan dengan optimal hal-hal di atas menurut hemat penulis, tidaklah mungkin di zaman ini dengan melakukannya secara sendirian, tanpa berjamaah dengan saudara-saudara kita sesama salik. Sungguh pengibaratan tentang serigala akan dengan mudah menerkam domba yang berjalan keluar dari rombongannya sangat bagus untuk kita jadikan cermin dan bahan renungan perjalanan kita di Sistem Suluk ini.

Wallahu a’lam bi shawwab

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang yang senantiasa merindukan persahabatan dalam pencarian Al-Haq